Angkatan Balai Pustaka merupkan
salah satu angkatan dalam periodesasi sastra yang ada di Indonesia. Angkatan
ini berkisar pada tahun 1920 dimana nama angkatan ini yang tak lepas dari
riwayat pendirian Balai Pustaka. Dan pendirian balai pustaka teersebut tak
lepas dari adanya pembangunan sekolah sekolah bumi putera.
Belanda pada
dasarnya merupakan Negara yang melaksanakan politik Cultuurstelsel. Akan tetapi, system tersebut tidak berjalan di
Indonesia. Maka sebagai gantinya Belanda menerapkan politik etis / balai jasa.
Slogan politik etis itu yakni, Pendidikan, Irigasi, dan Emigrasi. Oleh karena
itu, mulai pada tahun 1900 pemerintah Belanda banyak mendirikan Sekolah
berorientasi Barat.
Ada empat
prinsip pendidikan yang dilaksanakan pemerintahan Kolonial. Satu, pemerintah
tidak memihak salah satu agama tertentu. Dua, upaya anak didik agar dapat
mencari penghidupan atau pekerjaan demi kepentingan kolonial. Tiga, system
disusun sesuai dengan adanya perbedaan lapisan sosial yang terdapat dalam
masyarakat Hindia, khususnya yang ada di pulau Jawa. Empat, pendidikan diukur
dan diarahkan guna membentuk golongan elit sosial yang dapat dipakai sebagai
alat kepentingan politik dan ekonomi Belanda.
Pada masa itu
(abad 19) pemerintah Belanda banyak membangun sekolah Bumi Putera. Dengan tujuan
untuk mendidik pegawai rendahan yang dibutuhkan oleh pemerintah Belanda. Akan
tetapi harapan pemerintahan kolonial tak sejalan dengan yang diharapkan.
Semakin banyaknya masyarakat yang mampu membaca dan menulis, pemerintah Belanda
merasa khawatir akan terjadinya perlawanan dari Pribumi. Maka pada tahun 1908,
pemerintah kolonial mendirikan Comissie
voor de Inlandsche School en Volkslectuur (Komisi untuk Sekolah-Sekolah
Bumi putera dan Bacaan Rakyat). Komisi ini diketuai oleh Dr. G.A.J. Hazeu dan
sejak1917 berubah menjadi Bacaan Rakyat (Kantor voor de Volkslektuur) atau yang lebih dikenal dengan nama Balai
Pustaka.
Menurut Situmorang
dalam bukunya Sejarah Sastra Indonesia 1 (1980:
32) tugas Balai pustaka meliputi : mengumpulkan serta mencatat semua cerita
rakyat / dongeng rakyat yang hidup di masyarakat; menerbitkan cerita yang telah
dikumpulkan; menerjemahkan cerita yang berasal dari luar negeri yang tidak
bertentangan dengan pemerintahan Hindia Belanda; menerbitkan majalah untuk
bacaan masyarakat; menyelenggarakan perustakaan; menerbitkan karanagan asli
orang Hindia; membimbing pengarang Hindia dalam pengertian memberi kesempatan
untuk menulis dan dorongan demi kemajuan di bidang kesusastraan.
Menurut Pradopo
(1995: 25-26) periode Balai Pustaka mempunyai cirri - cirri : (1) Bersifat Didaktis, maksudnya
pencitraanya ditujukan kepada pembaca untuk member nasihat. (2) Permasalahan
Berupa Adat, terutama adat kawin paksa. (3) Adanya pertentangan antara kaum tua
(pandangan adat lama) dengan kaum muda (paham modern). (4) Masalah Kedaerahan, belum
bersifat kebangsaan, (5) Gaya Bahasa Klise, pepatah, atau peribahasa. (6)
Banyak Digresi, yaitu sisipan peristiwa yang tidak langsung berhubungan dengan
inti cerita, misalnya tentang adat, dongeng, syair, atau pantun nasihat. (7)
Bercorak Romantis, maksudnya melarikan diri dari maalah kehidupan
sehari-hari.
Azab dan Sengsara (1919) karya Merari Siregar merupakan novel atau
roman pertama Indonesia. Novel ini ditokohi oleh Mariamin, Aminudin, dan
Kasibun. Gaya novel ini masih sama dengan hikayat lama, yaitu di setiap
kesempatan para pelaku memberikan nasihat yang panjang lebar.
Medua Teruna karya M Kasim memiliki warna lain karena ada unsur
humor. Novel ini di tokohi oleh Marah Kamil yang tergila-gila pada Ani. Gaya
novel ini masih terpengaruh hikayat dimana sebelum tokoh berhasil menikahi
gadis pujaannya, ia harus melewati berbagai macam halangan dan rintangan.
Hal serupa juga terjadi pada
novel karya Marh Rusli yaitu Siti
Nurbaya. Novel ini bercerita tentang kasih yang tak sampai dimana novel ini
ditokohi oleh Siti Nurbaya, Samsul Bachri, dan Datuk Meringgih.
Jika roman atau novel sebelumnya mengisahkan
perkawinan sedaerah, maka dalam novel Salah
Asuhan karya Abdul Muis bercerita tentang perkawinan antardaerah bahkan
bisa disebut perkawinan antar bangsa. Tokoh dalam novel ini adalah Hanafi dan
Corrie.
Pengarang Adinegoro dalam
novelnya Darah Muda dan Asmara Jaya menceritakan tentang kaum
muda dan kaum tua, di mana pengarang ini memenangkan kaum muda dalam
permasalahan (ending). Nurdin, tokoh utama dalam Darah Muda tidak menikah dengan gadis pilihan orangtuanya, akan
tetapi dia menikahi Rukmini, gadis idamannya.
Drama Bebasari karya Rustam Effendi dianggap penting karena merupakan
drama (drama bersajak) berbahasa Indonesia pertama yang diterbitkan. Dalam
“Bukan Beta Bijak Berperi”, Rustam Effendi mulai menampakkan ekspresi jiwa.
Pada sajak “Tanah Air” (dimuat
dalam Jong Sumatra tahun 1920) yang
dimaksud Moh. Yamin adalah Sumatra. Akan tetapi pada tahun 1928 dalam mumpulan
sajaknya Indonesia, Tumpah Darahku ,
moh. Yamin tidak lagi hanya berbicara tentang Sumatra melainkan Indonesia.
Berikut ini dapat kita perhatikan pengarang angkatan
balai pustaka dan karya-karyanya sebagaimana di bawah ini :
Karya – karya Merari Siregar
antara lain : Cerita Si Jamin dan Si
Johan (1918), Azab dan Sengsara (1920),
Binasa Karena Gadis Priangan (1931), Cerita Tentng Busuk dan Wanginya Kota Betawi
(1924), Cinta dan Hawa Nafsu.
Karya – karya Marah Rusli antara
lain : Siti Nurbaya (1922, Novel), La Hami (1952, Novel), Anak dan Kemenakan (1956, Novel), Memang Jodoh (Otobiografi), Tesna Zahera (roman)
Karya – karya Abdul Muis antara
lain : Don Kisot (1923, terjemahan), Tom Sawyer Anak Amerika (1928,terjemahan),
Sebatang Kara (1922, terjemahan), Tanah Aairku (1950, terjemahan), Salah Asuhan (1928, Novel), Pertemuan Jodoh (1933, Novel), Surapati (1950, novel), Robert Anak Surapati (1953, Novel)
Karya – karya Nur Sutan Iskandar
antara lain : Apa Dayaku Karan Aku
Perempuan (1922, novel), Cinta yang
Membaa Maut (1926, novel), Salajh
Pilih (1928, novel), Karena Mertua (1932,
novel), Tuba Dibalas Dengan Air susu (1933,
novel), Hulubalang Raja (1934,
novel), Katak Hendak Menjadi Lembu (1935,
novel), Neraka Dunia (1937, novl)
Karya – karya Moh. Yamin antara
lain : Tanah Air (1922, kumpulan
puisi), Indonesia Tumpah Darah (1928,
kumpulan puisi), Kalau Dewi Tara Sudah
Berkata (1934, drama), Ken Arok dan
Ken Dedes (1934, drama)
Karya – karya Rustam Effendi
antara lain : Bebasari (1924, Drama),
Percikan Permenungan (1926, kumpulan
puisi).
Tulis Sutan Sati dengan karyanya Tak Disangka (1923), Sengsara
Membawa Nikmat (1928), Syair Rosina (1933),
Tjerita Si Umbut Muda (1935), Tidak Membalas Guna, Memutuskan Pertalian (1978),
Sabai Nan Aluih (1954, cerita
minangkabau lama)
Nah demikian kiranya beberapa
sastrawan dan karyanya yang termasuk dalam angkatan Balai Pustaka. Mohon maaf
jika ada kesalahan-kesalahan. Oleh Karena itu kritik dan saran yang membangun
diharapkan dari para sobat blogger guna menambah dan memajukan sastra
Indonesia. Semoga tulisan ini bermanfaat…
Salam Sastra
No comments:
Post a Comment